BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
AMH (Angka
Melek Huruf) merupakan proporsi penduduk usia 10 tahun ke atas yang mempunyai
kemampuan membaca dan menulis huruf latin dan huruf lainnya, tanpa harus
mengerti apa yang di baca/ditulisnya terhadap penduduk usia 10 tahun ke atas.
1.2
Rumusan
Masalah
Rumusan
masalah dalam penyusunan makalah ini adalah :
1. Mengetahui
jumlah Angka Melek Huruf di Banjarmasin.
2. Menganalisis
Angka Melek Hidup di Banjarmasin tersebut.
3. Membuat
grafik dari jumlah Angka Melek Huruf di Banjarmasin tersebut.
1.3
Tujuan
Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui
jumlah angka melek huruf di Kota Banjarmasin berdasarkan tahun-tahun tersentu
sesuai dengan sensus penduduk yang sudah ada.
1.4
Manfaat
Penulisan
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah agar para
masyarakat sadar betapa sangat beruntungnya mereka yang bisa mengenal huruf
bisa membaca dan bisa berhitung.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Angka
Melek Hidup (AMH)
Angka Melek Huruf (AMH)
adalah persentase
penduduk yang melek huruf terhadap penduduk seluruhnya di suatu daerah.
Rumus :
Dimana :
AMH = Angka
Melek Huruf
P10+ = Penduduk
usia 10 tahun ke atas yang melek huruf
P10+ = Penduduk
usia 10 tahun ke atas di suatu daerah
K = Konstanta
Kriteriannya adalah makin tinggi
nilai melek huruf berarti makin baik mutu penduduk di suatau daerah.
Kegunaan dari Angka
Melek Hidup itu sendiri adalah untuk mengetahui banyaknya penduduk yang
melek huruf di suatu daerah.
Angka
Melek Huruf tersebut berguna untuk melihat pencapaian indikator
dasar yang telah dicapai oleh suatu daerah, karena membaca merupakan dasar
utama dalam memperluas ilmu pengetahuan. AMH merupakan indikator penting untuk
melihat sejauh mana penduduk suatu daerah terbuka terhadap pengetahuan.
Tingkat melek huruf yang tinggi (atau tingkat buta
huruf rendah) menunjukkan adanya sebuah sistem pendidikan dasar yang efektif
dan/atau program keaksaraan yang memungkinkan sebagian besar penduduk untuk
memperoleh kemampuan menggunakan kata-kata tertulis dalam kehidupan sehari-hari
dan melanjutkan pembelajarannya.
2.2 Indeks
Pembangunan Manusia (IPM)
Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) / Human
Development Index (HDI)
adalah pengukuran perbandingan dari harapan hidup,
melek huruf,
pendidikan
dan standar hidup
untuk semua negara seluruh dunia. IPM digunakan untuk mengklasifikasikan apakah
sebuah negara adalah negara maju, negara
berkembang atau negara terbelakang dan
juga untuk mengukur pengaruh dari kebijaksanaan ekonomi terhadap kualitas
hidup.
Pendidikan merupakan sektor utama
dalam pembangunan sumber daya manusia, kinerja pendidikan juga merupakan
indikator kemajuan suatu negara. Sehingga urusan pendidikan merupakan
urusan wajib di pemerintahan dan mendapatkan alokasi dana cukup besar.
IPM merupakan indeks komposit yang
dihitung sebagai rata-rata sederhana dari tiga indeks yang terdiri dari indeks
harapan hidup yang diukur dengan harapan hidup pada saat lahir, indeks
pendidikan yang diukur dengan kombinasi antara angka melek huruf pada penduduk
dewasa dan rata-rata lama sekolah, serta indeks standar hidup layak yang diukur
dengan pengeluaran perkapita yang telah disesuaikan atau paritas daya beli.
Berdasarkan kajian aspek status
pembangunan manusia, tinggi rendahnya status pembangunan manusia menurut UNDP
dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) golongan, yaitu:
1.
Tingkatan
rendah, jika IPM < 50.
2.
Tingkatan
menengah, jika 50 < IPM < 80.
3.
Tingkatan
tinggi, jika IPM > 80.
Namun untuk perbandingan antar
daerah di Indonesia, yaitu perbandingan antar kabupaten/kota, maka kriteria
kedua, yaitu “Tingkatan menengah”, dipecah menjadi 2 (dua) golongan, sehingga
gambaran status akan berubah menjadi sebagai berikut :
1.
Tingkatan
rendah, jika IPM < 50
2.
Tingkatan
menengah-bawah, jika 50 < IPM < 66
3.
Tingkatan
menengah-atas, jika 66 < IPM < 80
4.
Tingkatan
atas, jika IPM > 80
Berdasarkan kajian aspek tingkat
pertumbuhannya, IPM dapat digunakan sebagai ukuran kemajuan pembangunan,
melalui 2 (dua) cara, yaitu :
1.
Perbandingan
Antar Wilayah. Yaitu suatu posisi relatif dari satu wilayah terhadap wilayah
yang lain berdasarkan peringkatnya dalam suatu kawasan tertentu.
2.
Pengukuran
Tingkat Kemajuan. Yaitu untuk mengkaji pencapaian tingkat kemajuan capaian
setelah berbagai program diimplementasikan dalam suatu periode tertentu,
yang dinotasikan kedalam rumus reduksi shortfall per tahun (annual reduction
shortfall). Semakin besar reduksi shortfall (r) di suatu wilayah
menunjukkan semakin besar kemampuan yang dicapai oleh wilayah tersebut dalam
periode tertentu. Kecepatan pencapaian dalam hal ini mengukur perbandingan
antara capaian yang telah ditempuh dengan capaian yang masih harus (seharusnya)
ditempuh untuk mencapai titik ideal IPM, yakni IPM = 100. Kecepatan pencapaian
= r, terbagi kedalam 4 (empat) tingkatan :
1.
Kecepatan
Pencapaian “Sangat Lambat”, jika r < 1,30
2.
Kecepatan
Pencapaian “Lambat”, jika 1,30 < r < 1,50
3.
Kecepatan
Pencapaian “Menengah”, jika 1,50 < r < 1,70
4.
Kecepatan
Pencapaian “Cepat”, jika r > 1,70
Beberapa faktor rendahnya capaian
kinerja pendidikan disebabkan oleh :
1.
Tingkat
keakuratan dan akumulasi data yang masih belum mantap dibanyak kasus, pendataan
merupakaan hal yang sangat berat, sulit dikumpulkan, terlambat dan kurang
valid. Sehingga melahirkan data final yang kurang akurat.Manajemen database
yang belum baik, terlebih dilini bawah (sekolah), kurang didukung oleh teknolgi
dan Sumber Daya yang memadai.
2.
Topografi
wilayah Indonesia yang terdiri dari banyak pulau, perbukitan, daerah sulit.
Sehingga akses pendidikan masih terlalu rendah, siswa masih harus berjalan kaki
sekian kilometer. Walau jarak sekolah dengan pemukiman siswa terjauh misalnya 3
Km, tetapi kita perlu sadarai 3 Km tersebut mungkin saja harus
melalui sungai, bukit, tanpa alat transportasi.
3.
Penyebaran
guru yang belum merata sesuai dengan analisis kebutuhan. Guru masih menumpuk di
daerah perkotaan, sementara guru didaerah pingggiran sangat minim.
4.
Sarana
dan Prasarana penddikan yang belum memadai, alat praktik, perpustakaan
terutama di jenjang pendidikan dasar. Keterbatasan akan akses informasi dan
komunikasi dan bahkan ketersediaan jaringan listrik yang belum ada.
5.
Pada
sekolah menengah, didaerah angka putus sekolah masih cukup tinggi. Hal ini
lebih dominan dipengaruhi oleh faktor ekonomi, sosial, dan budaya suatu daerah
(pernikahan dini ). Di Sekolah Menengah Kejuruan memerlukan biaya operasional
maupun biaya personal yang cukup tinggi, sementara siswa yang di SMK menurut
pengamatan penulis banyak pula mayarakat yang berpenghasilan rendah.
6.
Angka
melek huruf atau tuna keaksaraan merupakan faktor sangat penting. Angka ini merupakan
indikator kinerja kunci dibidang pendidikan. Untuk itu perlu fokus pada
pendidikan non formal ini. Pendidikan non formal perlu kerja keras, diperlukan
pendataan yang maksimal karena siswanya tidak samaa dengan sekolah formal yaang
datang dan mendaftar disekolah. Mereka harus kita cari dan kumpulkan dalam
bentuk – kelompok belajar. Diperlukan sosialisasi dan pendekatan, karena
sebagian mereka adalah orang tua yang merasa malu dan tidak memerlukan lagi
pandai tulis baca.
BAB III
DESKRIPSI WILAYAH
3.1 Deskripsi Kota Banjarmasin
Kota Banjarmasin/ Latin:
Bandiermasinensis adalah salah satu kota
sekaligus merupakan ibu kota dari provinsi
Kalimantan Selatan, Indonesia.
Kota Banjarmasin merupakan Pusat Kegiatan Wilayah (PKW), sebagai Kota Pusat
Pemerintahan (Ibukota Propinsi Kalimantan Selatan) serta sebagai pintu gerbang
nasional dan kota-kota pusat kegiatan ekonomi nasional. Juga merupakan kota
penting di wilayah Kalimantan Selatan yang saat ini memiliki posisi yang sangat
strategis secara geografis. Sudah selayaknya Kota Banjarmasin ditingkatkan
statusnya menjadi Pusat Kegiatan Nasional di masa mendatang.
Kawasan Banjarmasin awalnya sebuah perkampungan
bernama "Banjarmasih"
(terletak di Bagian utara Banjarmasin). Tahun 1606 pertama kali VOC-Belanda
mengunjungi Banjarmasin, saat itu masih terletak di muara sungai Kuin.
Kota-kota yang terkenal di pulau Kalimantan pada awal abad ke-18 adalah Borneo
(Brunei City), Ноrmata (Karimata), Marudo, Bendamarfin (Banjarmasin), dan Lava
(Lawai).
Tahun 1747, VOC-Belanda memperoleh Pulau Tatas (Banjarmasin bagian Barat) yang
menjadi pusat Banjarmasin semenjak saat itu hingga ditinggalkan Belanda tahun
1809. Tahun 1810 Inggris menduduki Banjarmasin[138]
dan menyerahkannya kembali kepada Belanda tahun 1817. Daerah Banjar Lama (Kuin)
dan Banjarmasin bagian Timur masih tetap menjadi daerah pemerintahan pribumi di
bawah Sultan Banjar dengan pusat pemerintahan di keraton Martapura (istana
kenegaraan) hingga diserahkan pada tanggal 14 Mei 1826. Tahun 1835, misionaris mulai
beroperasi di Banjarmasin. Tahun 1849, Banjarmasin (Pulau Tatas) menjadi
ibukota Divisi Selatan dan Timur Borneo. Saat itu rumah Residen terletak di
Kampung Amerong berhadap-hadapan dengan Istana pribadi Sultan di Kampung Sungai
Mesa yang dipisahkan oleh sungai Martapura. Pulau Tatas yang menjadi daerah
hunian orang Belanda dinamakan kotta-blanda. Ditetapkan dalam Staatblaad tahun
1898 no. 178, kota ini merupakan Onderafdeeling Banjarmasin en Ommelanden
(1898-1902), yang merupakan bagian dari Afdeeling Bandjermasin en Ommelanden
(Banjarmasin dan daerah sekitarnya). Tahun 1918,
Banjarmasin, ibukota Residentie Zuider en
Ooster Afdeeling van Borneo mendapat Gemeente-Raad.
Pada 1 Juli
1919,
Deean gemeente
mulai berlaku beranggotakan 7
orang Eropa,
4 Bumiputra
dan 2
Timur Asing.
Pada tahun 1936 ditetapkan Ordonantie pembentukan Gouvernementen Sumatra,
Borneo en de Groote-Oost (Stbld. 1936/68). Borneo Barat dan Borneo Selatan-Timur
menjadi daerah Karesidenan dan sebagai Gouvernementen Sumatra, Borneo en de
Groote-Oost yang pusat pemerintahannya adalah Banjarmasin. Tahun 1937,
otonomi
kota Banjarmasin ditingkatkan dengan Stads Gemeente
Banjarmasin karena Banjarmasin sebagai ibukota
Gouvernement Borneo. Tanggal 16 Februari 1942, Jepang menduduki Banjarmasin.,
kemudian dibentuk pemerintahan pendudukan bagi Borneo & kawasan Timur di
bawah Angkatan Laut Jepang. Tanggal 17 September 1945, Jepang menyerah kepada
Sekutu (tentara Australia) yang memasuki Banjarmasin. Tanggal 1 Juli 1946 H. J. van Mook
menerima daerah Borneo en de Groote-Oost dari tentara pendudukan Sekutu dan
menyusun rencana pemerintahan federal melalui Konferensi Malino
(16-22 Juli 1966) dan Konferensi Denpasar (7-24 Desember 1946)
yang memutuskan pembentukan 4 negara bagian yaitu Jawa, Sumatera, Borneo
(Netherlands Borneo) dan Timur Besar (Negara Indonesia Timur), namun
pembentukan negara Borneo terhalang karena ditentang rakyat Banjarmasin Tahun
1946 Banjarmasin sebagai ibukota Daerah Banjar
satuan kenegaraan sebagai daerah bagian dari Republik Indonesia Serikat.
Kotapradja Banjarmasin termasuk ke dalam Daerah Banjar, meskipun demikian
Daerah Banjar tidak boleh mencampuri hak-hak dan kewajiban rumah-tangga Kotapradja
Banjarmasin dalam daerahnya sendiri.
Secara de jure Banjarmasin masih sebagai ibukota
Kalsel, namun kantor Sekretariat Daerah Provinsi Kalimantan Selatan terhitung
sejak tanggal 14 Agustus 2011 yang bertepatan dengan Harijadi Kalsel ke 61,
telah dipindahkan kawasan Gunung Upih di kecamatan Cempaka (Banjarbaru)
yang berdiri pada lokasi dengan ketinggian elevasi 44 meter di atas permukaan
laut serta berjarak sekitar 60 km dari kantor lama (pada titik 0 km Banjarmasin
di tepi sungai Martapura).
Kota Banjarmasin terletak pada 3°15' sampai 3°22' Lintang Selatan dan
114°32' Bujur Timur, ketinggian tanah asli berada pada 0,16 m di bawah
permukaan laut dan hampir seluruh wilayah digenangi air pada saat pasang. Kota
Banjarmasin berlokasi daerah kuala sungai
Martapura yang bermuara pada sisi timur Sungai Barito.
Letak Kota Banjarmasin nyaris di tengah-tengah Indonesia.
Kota Banjarmasin
beriklim tropis dimana angin muson barat bertiup dari Benua Asia
melewati Samudera Hindia menimbulkan musim hujan,
sedangkan angin dari Benua Australia adalah angin kering yang
berakibat adanya musim kemarau.
Curah hujan yang turun rata-rata per tahunnya kurang lebih 2.400 mm
dengan fluktuasi tahunan berkisar antara 1.600-3.500 mm, jumlah hari hujan
dalam setahun kurang lebih 150 hari dengan suhu udara yang sedikit bervariasi,
sekitar 26 °C.
Kota Banjarmasin termasuk wilayah yang beriklim tropis. Angin Muson dari
arah Barat yang bertiup akibat tekanan tinggi di daratan Benua Asia melewati
Samudera Hindia menyebabkan terjadinya musim hujan, sedangkan tekanan tinggi di
Benua Australia yang bertiup dari arah Timur adalah angin kering pada musim
kemarau. Hujan lokal turun pada musim penghujan, yaitu pada bulan-bulan
November–April. Dalam musim kemarau sering terjadi masa kering yang panjang.
Curah hujan tahunan rata-rata sampai 2.628 mm dari hujan per tahun 156 hari.
Suhu udara rata-rata sekitar 25 °C - 38 °C dengan sedikit variasi
musiman. Fluktuasi suhu harian berkisar antara 74-91%, sedangkan pada musim
kemarau kelembabannya rendah, yaitu sekitar 52% yang terjadi pada bulan-bulan Agustus,
September
dan Oktober.
Kota ini terletak di tepian timur sungai Barito
dan dibelah oleh Sungai Martapura yang berhulu di Pegunungan Meratus. Kota Banjarmasin
dipengaruhi oleh pasang surut air laut Jawa,
sehingga berpengaruh kepada drainase kota dan memberikan ciri khas tersendiri terhadap kehidupan
masyarakat,
terutama pemanfaatan sungai sebagai salah satu prasarana transportasi
air, pariwisata, perikanan dan perdagangan.
Menurut data statistik 2001 dari seluruh luas wilayah Kota Banjarmasin
yang kurang lebih 98,46 km² ini dapat dipersentasikan bahwa peruntukan tanah
saat sekarang adalah lahan tanah pertanian 3.111,9 ha, perindustrian 278,6 ha,
jasa 443,4 ha, pemukiman adalah 3.029,3 ha dan lahan perusahaan seluas 336,8
ha. Perubahan dan perkembangan wilayah terus terjadi seiring dengan pertambahan
kepadatan penduduk dan kemajuan tingkat pendidikan serta penguasaan ilmu
pengetahuan teknologi.
Jumlah penduduk di wilayah ini dapat diperincikan sebagai
berikut:
Tabel Jumlah Penduduk Banjarmasin
tahun 2008
Nomor
|
Kecamatan
|
Luas (km²)
|
Jumlah Penduduk (jiwa)
|
Kepadatan (jiwa/km²)
|
1
|
20,18
|
150.221
|
7.444
|
|
2
|
11,54
|
118.278
|
10.249
|
|
3
|
13,37
|
149.753
|
11.201
|
|
4
|
11,66
|
114.584
|
9.827
|
|
5
|
15,25
|
94.409
|
6.209
|
Perkembangan populasi penduduk Banjarmasin.
No.
|
Tahun
|
Populasi
|
1
|
1780
|
2.300
jiwa
|
2
|
1920
|
41.661
jiwa
|
3
|
1930
|
57.822
jiwa
|
4
|
1990
|
481.371
jiwa
|
5
|
2000
|
527.724
jiwa
|
6
|
2005
|
589.115
jiwa
|
7
|
2010
|
625.395
jiwa
|
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Perhitungan
Angka Melek Huruf di Banjarmasin
1. Angka
Melek Huruf Tahun 1990
Diketahui : Jumlah
Penduduk 10+ Melek Huruf = 353.208 jiwa
Jumlah
Penduduk 10+ =
372.259 jiwa
Konstanta =
100
Ditanyakan :
?
Jawab : AMH
=
:
: AMH
= 94,88
2. Angka
Melek Huruf Tahun 2005
Diketahui : Jumlah Penduduk 10+ Melek Huruf =
466.761 jiwa
Jumlah
Penduduk 10+ =
474.938 jiwa
Konstanta =
100
Ditanyakan :
?
Jawab : AMH =
:
: AMH
= 98,27
3. Angka
Melek Huruf Tahun 2010
Diketahui : Jumlah
Penduduk 10+ Melek Huruf = 543.684 jiwa
Jumlah
Penduduk 10+ = 565.852 jiwa
Konstanta =
100
Ditanyakan :
?
Jawab : AMH
=
AMH = 96,08
4.2 Analisis
Data Angka Melek Huruf Kota Banjarmasin
1. Angka
Melek Huruf Tahun 1990
Proporsi
penduduk usia 10 tahun ke atas yang mempunyai kemampuan membaca dan menulis
huruf latin dan huruf lainnya, tanpa harus mengerti apa yang di baca/ditulisnya
terhadap penduduk usia 10 tahun ke atas. ABH : Proporsi penduduk usia 15 tahun
ke atas yang tidak mempunyai kemampuan membaca dan menulis huruf latin dan
huruf lainnya terhadap penduduk usia 10 tahun ke atas.
Dari
data yang telah di dapat, dapat disimpulkan bahwa di Banjarmasin, pada tahun
1990 dengan jumlah penduduk berusia 10 tahun
keatas yang Melek Huruf sebanyak 353.208 jiwa dan jumlah penduduk usia
10 tahun keatas di Banjarmasin pada tahun 1990 tersebut sebanyak 372.259 jiwa
dapat diketahui jumlah Angka Melek Huruf (AMH) pada tahun tersebut di kota
Banjarmasin sebanyak 94,88 %.
94,88
% dari 100 % penduduk di kota Banjarmasin dapat dibuktikan dapat membaca,
menulis dan berhitung. Dari jumlah tersebut dapat dikatakan peran pemerintah
sangat berhasil dalam memberantas buta huruf yang ada di Indonesia khususnya di
Banjarmasin.
2.
Angka Melek Huruf Tahun 2005
Angka
Melek Huruf (AMH) merupakan persentase penduduk usia 10 tahun ke atas yang bisa
membaca dan menulis terhadap seluruh penduduk berumur 10 tahun ke atas di suatu
daerah. AMH ini digunakan sebagai indikator pendidikan yang digunakan untuk
mengetahui banyaknya penduduk yang melek huruf di suatu daerah. Semakin
tinggi nilai melek huruf berarti makin baik mutu penduduk di wilayah tersebut.
Dari
data yang telah di dapatkan dapat diketahui bahwa jumlah penduduk usia 10 tahun
keatas di Banjarmasin yang melek huruf pada tahun 2005 sebanyak 466.761 jiwa
sedangkan jumlah penduduk usia 10 tahun keatas sebanyak 474.938 jiwa. Dan dapat
disimpulkan total AMH dari data tersebut sebanyak 98,27 %.
Dari
tahun ke tahun, kemajuan di kota Banjarmasin dalam hal membaca, menulis dan
berhitung semakin pesat. Hal tersebut tidak jauh juga dari peran pemerintah
yang sangat mendukung hal tersebut. Dapat diketahui sebanyak 98,27 % penduduk
di kota Banjarmasin yang berusia 10 tahun keatas telah lancer membaca menulis
berhitung. Walaupun tidak seluruhnya berhasil tetapi bisa dikatakan bisa
melakukan hal tersebut. Peran media juga sangat berpengaruh dalam menjalankan
pemberantasan buta huruf ini.
3.
Angka Melek Huruf Tahun 2010
Angka Melek Huruf (AMH)
adalah proporsi seluruh penduduk berusia 10 tahun ke atas yang dapat membaca
dan menulis huruf latin atau huruf lainnya.
Dari data
tersebut diatas telah didapatkan jumlah Angka Melek Huruf (AMH) di kota
Banjarmasin sebanyak 96,06 % penduduk mampu membaca dan menulis serta
berhitung.
Pada tahun
2010 penurunan terjadi. Karena dari sensus penduduk tahun 2005 jumlah AMH di
kota Banjarmasin sebanyak 98,27 %. Hal tersebut membuktikan kinerja pemerintah
menurun dalam hal yang menyangkut pendidikan seperti ini.
4.3 Grafik
Angka Melek Huruf Kota Banjarmasin
Dari
grafik tersebut kita dapat mengetahui laju pertumbuhan Angka Melek Huruf (AMH)
di kota Banjarmasin pada beberapa tahun dimulai dari tahun 1990, 2005, dan
2010. Dari grafik tersebut dapat diketahui bahwa AMH yang terjadi di masyarakat
mengalami kenaikan yang cukup besar yaitu dari tahun 1990 hingga ke tahun 2005.
Dimana pada tahun 1990, AMH di kota Banjarmasin sebanyak 94,88 %, sedangkan
pada tahun 2005 AMH sebanyak 98,27 %. Kenaikan tersebut mencapai sekitar 3,39 %.
Dari
tahun 2005 menuju tahun 2010 mengalami sedikit penurunan dari yang awalnya
sebanyak 98,27 % turun menjadi 96,08 %. Hal tersebut kemungkinan terjadi karena
peran pemerintah yang semakin kedepannya kurang memperhatikan nasib dari kebisaan
masyarakatnya dalam membaca, menulis dan berhitung.
BAB
V
KESIMPULAN
Angka
Melek Huruf (AMH) adalah persentase penduduk usia 10 tahun keatas yang bisa
membaca dan menulis serta mengerti sebuah kalimat sederhana dalam hidupnya
sehari-hari.
AMH dapat digunakan untuk
- Mengukur keberhasilan program-program pemberantasan buta huruf, terutama di daerah pedesaan di Indonesia dimana masih tinggi jumlah penduduk yang tidak pernah bersekolah atau tidak tamat SD.
- Menunjukkan kemampuan penduduk di suatu wilayah dalam menyerap informasi dari berbagai media.
- Menunjukkan kemampuan untuk berkomunikasi secara lisan dan tertulis. Sehingga angka melek huruf dapat berdasarkan kabupaten mencerminkan potensi perkembangan intelektual sekaligus kontribusi terhadap pembangunan daerah.
Tingkat
melek huruf yang tinggi (atau tingkat buta huruf rendah) menunjukkan adanya
sebuah sistem pendidikan dasar yang efektif dan/atau program keaksaraan yang
memungkinkan sebagian besar penduduk untuk memperoleh kemampuan menggunakan
kata-kata tertulis dalam kehidupan sehari-hari dan melanjutkan pembelajarannya.
Dari sejumlah data yang didapatkan dapat diketahui bahwa
Angka Melek Huruf di kota Banjarmasin mengalami beraneka ragam jumlah. Mulai
dari mengalami penurunan hingga kenaikan.